Zea tertawa mendengar Ranty yang sedang mengakhiri telepon dengan kalimat “see you sayang!” Ia tidak pernah tahu apa alasan semua orang memanggil seseorang dengan panggilan ‘sayang’? Apa itu ungkapan yang paling cocok untuk melabeli seseorang yang kita sayangi? Tapi kenapa harus dilabeli? Lagipula, masih ada banyak orang yang pergi meski dilabeli sayang. Lalu kenapa banyak yang protes jika kekasihnya tidak memanggilnya dengan sebutan itu? Apa itu bisa menjadi ukuran bahwa seseorang tidak menyayangi?
“Kita pacaran, kenapa gak manggil sayang?” Protes pertama yang Zea dapatkan saat baru saja berpacaran dengan teman satu sekolahnya. Ia hanya menjawab dengan tawa kaku. Apa berpacaran harus memanggil sayang? Tapi yang ia tahu, memang banyak yang seperti itu.
Menurut Zea, tindakan untuk bahagia bersama adalah hal yang terpenting dalam hubungan. Sekedar memberi kabar satu sama lain, atau sekedar bermain-main melepas kepenatan masa remaja. Ia mempelajari itu dalam buku, sebab remaja masih membingungkan untuknya jika hanya berjalan tanpa rencana.
Di beberapa kesempatan, ia mencoba untuk memanggil pacarnya dengan ‘sayang’. Namun yang ia dapatkan hanyalah tatapan bingung tanpa kata. Ia tidak mendapat balasan, ataupun sekedar senyum manis. Ia kecewa dengan hal tersebut, membuatnya tak menghiraukan lagi panggilan sayang yang dilontarkan pacarnya.
“Kamu kenapa gak pernah manggil aku sayang? Kamu manggilnya selalu beb mulu?!” Protes kedua yang Zea dapatkan dari seseorang yang entah sebenarnya siapa dalam buku hidupnya. Ia tertawa miring mendengar pertanyaan itu, sebab ini kali keduanya mendapat pertanyaan yang masih belum ada jawabannya.
Ada pertanyaan baru dalam benaknya, apakah panggilan babe berbeda dengan panggilan sayang? Bukankah pasangan juga sering melakukan hal itu? Lalu satu lagi yang membuatnya bingung, sebenarnya apa hubungan mereka saat itu? Mereka bukan pasangan namun selayaknya pasangan. Ah! Tidak perlu membahasnya terlalu panjang sebab kisah ini ada dalam bab lainnya -bab yang sulit untuk diselesaikan.
Lagi-lagi, Zea berhasil mencobanya meski rasanya ada yang menggelitik hati. Ia pikir babe dan sayang adalah hal yang sama, namun ternyata berbeda. Ia hanya terbiasa mengikuti lawan bicaranya untuk memanggil dengan sebutan babe. Kalau sayang… rasanya terlalu spesial untuk sering dikatakan dengan gamblang.
Protes terakhir, “pengen deh dipanggil sayang sama pacarku sendiri!” Kali ini, Zea punya jawabannya. Ia tahu jawaban apa yang tepat untuk menjawab segala apa yang ada di benaknya tentang pertanyaan itu. Namun, ia gagal untuk mengontrol apa yang salah dari dia. Ia belum bisa membiasakan diri.
Zea melempar pertanyaan untuk Ranty yang sedang ada di sampingnya, “panggilan sayang penting banget kah buat cowok?” Ranty menaikkan alisnya. Bahkan Ranty yang hebat dalam berhubungan pun masih bingung dengan pertanyaan tersebut. “Penting lah!” hanya itu jawaban Ranty.
“Kenapa Ran?”
“Karena.. ungkapan sayang(?)”
“Kalo gak sayang mah ngapain tiap malem gue tungguin kabarnya, ngapain juga gue mau telponan sama dia cuma buat denger suara dia.”
“Ya lo kenapa gak manggil dia sayang? Sesusah itu nyebutnya?”
“Gue bisa tapi…”
“Tapi apa anjing! Lo kan pacaran sama dia. Yang dulu aja lo panggil beb beb bahkan sayang juga, bukan siapa-siapa juga. Pertama kali gue denger lo manggil gituan waktu itu.”
“Asal lo tau! Gue deg-degan!”
Ranty tertawa terbahak-bahak mendengar jawaban singkat yang terdengar ragu itu. Itu jawabannya. Zea belum tahu sepenting apa panggilan sayang bagi seorang pria, namun ia sudah menemukan jawaban betapa susahnya ia melontarkan panggilan tersebut. Degup kencang di dadanya selalu berhasil menghentikan bibirnya, rasanya ia akan mati ditelan suara degup itu.
Panggilan itu mungkin penting bagi pasangannya, namun lebih penting baginya sebab tidak bisa sembarang ia lontarkan. Karena terlalu spesial untuk dikatakan secara gamblang. Bukannya ia tidak sayang, namun ia tidak pandai mengendalikan degup mengerikan itu. Lebih baik ia diam dan mengatakannya saat tidak diminta.
cr. maisaturn, 2023